Sabtu, 10 Mei 2008

Bila Hati Bercahaya

Adakah diantara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil meraih segalanya : harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa besar sebenarnya nilai dari apa-apa yang telah kita raih selama ini.

Di sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong ini berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat takjub siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.

Sayangnya, seringkali orang yang merasa telah berhasil meraih segala apapun yang dirindukannya di bumi ini - dan dengan demikian merasa telah sukses - suka tergelincir hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya semata, sedangkan ketika gagal mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan kambing hitamnya pada orang lain.

Orang semacam ini tentu telah lupa bahwa apapun yang diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang dinginkannya, pasti tidak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul, dengan dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.

Padahal, seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya, sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini. Laa khaufun alaihim walaa hum yahjanuun! Samasekali tidak ada kecemasan dalam menghadapi urusan apapun di dunia ini. Semua ini tidak lain karena hatinya selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan dahsyat.

Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita terluka. Ini berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu akan terus menerus terjadi.

Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit. Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti. Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa krab dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.

Lain halnya kalau hati kita selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla. Di antara yang penting yang kita perhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah bahwa kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintainya."

Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dimiliki sama sekali tidak akan membuat hati merasa tentram karena ketentraman itu hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.

Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)

Andaikata kita merasa lebih tentram dengan sejumlah tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tentram dengan jaminan Allah. Ini dikarenakan apapun yang kita miliki belum tentu menjadi rizki kita kalau tidak ada izin Allah.

Sekiranya kita memiliki orang tua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai merasa tentram dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.

Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita.jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia di genggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena kedudukan dan kekayaannya, kalau meremehkan seseorang karena ia papa dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya akan susah hati ini bercahaya disisi Allah.

Mengapa demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu Allah mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.

Hendaknya dari sekarang mulai diubah sistem kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul sederhananya, sehingga kita mersa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah mungkin, maka mulailah merasa beruntung jikalau kita menguntungkan ibu tua berimbang kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada membelinya ke supermarket. Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.

Lain halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai kepuasan batinnya juga.

Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain. Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan urusan kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.

Sungguh sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau tidak ada imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan, pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih penghargaan.

Bagi ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin, dengan menghargai, memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang didapatkan dari selain Dia.

Walhasil, siapapun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.

"Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu", tulis Syaikh Ibnu Atho'illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma'rifat dan rahasia-rahasia."

Subhanallaah, sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapapun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).

Munajat di kala senang

Hidup memang sudah dimafhumi oleh orang-orang bahwa ia tidak selalu landai dan lurus, tidak selalu penuh dengan taburan bunga indah, serta tidak hanya mengandung kenikmatan semata. Tapi hidup selalu bergantian antara nikmat dan musibah, justru bagi sebagian orang hidup tak lebih dari musibah dan kesulitan yang tak henti-hentinya datang bergantian. Ditengah badai tekanan yang melanda jiwa itulah ungkapan dan sikap keluh kesah menemukan tempatnya. Seolah ia bagaikan muara dari segala hasrat kemarahan, kekesalan, dan keengganan akan takdir yang sedang ia jalani. Sekuat apapun upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk 'menelan' sendiri beban batin, tampaknya akan ada selalu celah bagi 'keluhan' itu untuk mengalir dari diri pemiliknya.

Memang sebagian orang ada yang pandai mengelola keluh kesah itu sehingga menemukan saluran dan caranya yang tepat. Tapi ada juga yang menjadikan keluh kesah sebagai rutinitas yang menyita energinya. bagi sosok seperti itu, rasanyan tidak sah jikalau beban hidup ini harus dimilikinya sendiri. Tapi dari sekian banyak pilihan, munajat adalah salah satu alternatif yang dapat kita pilih kapanpun jua.

Munajat adalah salah satu bahasa yang digunakan seorang mukmin untuk menuangkan keluh kesahnya pada Sang Maha Pemilik Hati. Munajat menjadi media yang senantiasa relevan untuk menghantarkan pesan dari seorang hamba yang sedang merasakan kelemahannya. Munajat adalah aktivitas rutin yang tidak pernah luput dan terlewatkan oleh seorang yang cerdas untuk mengobati dera batinnya yang ia rasa tak akan sanggup ia jalani sendiri dan tanpa bantuan Tuhannya.

Munajat seperti apakah yang ideal untuk dilakukan seorang mukmin?? Munajat...... sebenarnya bisa menjadi parameter yang menunjukkan seberapa besar kualitas kedekatan seseorang dengan Rabbnya. Bagi sebagian orang, munajat itu akan tiba-tiba terasa mendesak untuk dilantunkan saat ia mengalami peristiwa yang teramat kuat menekan batin. Contoh yang mudah kita lihat adalah saat-saat dimana ada orang yang disayang meninggal dunia. Atau hilangnya harta benda yang diperoleh dari hasil kerja keras dan dalam waktu lama. Atau belum datangnya belahan hati yang terlalu lama rasanya dinanti.

Singkat kata, munajat yang memiliki cita rasa yang tinggi - yaitu yang dapat dilakukan dengan khusyu', merendah sempurna, merasa diri hina, tingginya harapan dan besarnya rasa takut kepada Allah, serta konsentrasi penuh saat berdoa - rasanya hanya dapat diperoleh saat momentum "musibah" tepat hadir dalam kehidupan. Kualitas kedekatan dengan Allah SWT meraih posisi puncaknya pada saat itu. Sehingga semua urusan dunia selain yang di'keluh'kan menjadi kecil dan tak berarti, solat menjadi khusyu, bahkan terkadang diiringi tangisan dan ditambah indahnya bacaan.

Tapi seiring bergilirnya musim, sejalan dengan berputarnya waktu, duniapun berubah. Kepenatan itu perlahan mengendur. Kegelisahan itu berganti menjadi sakinah. Ketakutan memudar dan harapan menjadi terpenuhi..........Irama jiwapun kini semakin teratur dan hembusan semilir angin mulai nikmat dirasa.

Tapi saat Allah Al-Lathif menunjukkan rahman-Nya itu......di saat dada mulai lapang, justru doa perlahan-lahan dikurangi muatannya, dalam solat mulai ingat ini-itu. Hal-hal kecil yang tidak pernah dipikirkan waktu dulu. Dzikir mulai diganti kelalaian dan munajat menurun kualitasnya. Dan tanpa terasa, baginya.......munajat itu dilakukan di kala sedih dan susah saja.

Lalu.....Munajat seperti apakah yang ideal untuk dilakukan seorang mukmin?? Katanya, bagi seseorang yang bagus imannya, Allah senantiasa hadir dalam sedih maupun gembira. Munajat sebagai media komunikasi itu selalu terlantun siang dan malam. Tak perduli kemiskinan yang menjerat lehernya maupun kekayaan yang melimpah di tangannya. Doa dan dzikir menjadi 'nyanyian' harian yang menjadi penghibur hati. Munajat itu selalu terpelihara kualitas maupun kuantitasnya. Tampaknya ia memiliki metoda evaluasi tersendiri yang mampu mengkontrol kesadaran dirinya untuk memelihara munajat.

Munajat kala senang memang menunjukkan bahwa pelakunya adalah mukmin sejati. Karena ia masih mampu memiliki hati yang tetap terpaut kebenaran saat syubhat dunia menghiasi matanya. Ia masih dapat memelihara kedekatan dengan Rabbnya meski kenikmatan syahwat dapat dengan mudah direngkuhnya di tengah kelapangan itu. Berbagai kemudahan dan ringannya beban jiwa ia rasakan sebagai karunia Allah natijah (buah) dari kelembutan hati. Munajat di kala senang memperlihatkan bahwa pelakunya adalah orang yang paham benar hakikat kehidupan dan tidak mudah tertipu dan terombang-ambing oleh bergantinya episode-episode kehidupan yang selalu mengalir dan berputar.

Selain munajat di kala susah, munajat di kala senang menjadi menjadi 'tantangan' bagi kita untuk dapat meraihnya. Memang ia menjadi parameter yang membantu kita untuk mengukur keimanan, tapi munajat di kala senang juga akan menolong kita menjadi hamba yang lebih ma'rifat pada Tuhan. Mudah-mudahan dengan bermunajat di kala senang, kita akan menjadi manusia yang tidak hanya dapat 'berkeluh kesah', tapi menjadi manusia dan hamba yang pandai bersyukur.